
SEMARANG – Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah yang menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dan mengatur pencairan dan Jaminan Hari Tua hanya bisa dicairkan saat usia pekerja mencapai 56 tahun, mendapat protes dari sejumlah kalangan.
Salah satunya datang dari anggota DPR RI, Prasetyo Hadi. Politisi Partai Gerindra ini mendorong pemerintah mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) tersebut.
“Karena terdapat pasal merugikan pekerja, yaitu pencairan JHT baru di usia 56 tahun. Banyak pekerja yang setelah terkena PHK atau berhenti bekerja memanfaatkan pencarian dana JHT tersebut untuk bertahan hidup. Sedangkan usianya belum mencapai 56 tahun,” katanya, Selasa (15/2/2022).
Menurutnya, pentingnya manfaat JHT segera cair untuk bertahan hidup, karena banyak pekerja yang setelah terkena PHK harus menganggur dalam jangka waktu yang tidak menentu.
Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Tengah VI, meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Wonosobo, Purworejo, Temanggung, dirinya mengajak pemerintah bergotongroyong untuk fokus pemulihan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Bukan mengeluarkan kebijakan yang dapat memberatkan di masa pandemi.
“Misalnya, membuat kebijakan bagi para korban PHK di masa pandemi ini seperti pelatihan keterampilan berusaha bagi mereka yang berminat menjajaki dunia UMKM lokal yang berada di daerah-daerah, tentunya akan sangat membantu para pekerja baik buruh atau karyawan kantoran yang terkena PHK,” katanya.
Ditambahkan, dana JHT merupakan kesempatan dan modal bagi korban PHK yang sudah tidak memiliki pendapatan tetap.
“Mestinya orang-orang yang terkena PHK menjadi fokus pemerintah untuk diberdayakan, sehingga menjadi energi baru bagi pertumbuhan kegiatan perekonomian,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan, terkait alasan program Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dicairkan penuh saat peserta BPJS Ketenagakerjaan menginjak usia 56 tahun karena sejalan dengan tujuan JHT. Yaitu melindungi peserta saat menginjak masa tua dan tidak lagi produktif.
Jika dapat dicairkan saat usia produktif, maka program tak sesuai dengan tujuan perlindungan hari tua.
“Sejak awal program JHT ini dipersiapkan untuk jangka panjang, karena jangka pendek sudah ada. Untuk pekerja mengalami situasi, seperti kecelakaan, cacat permanen, meninggal dunia, ter-PHK, atau pindah ke luar negeri, semua sudah memiliki hak jaminan sosial dengan ketentuan khusus. Apabila manfaat JHT kapan pun bisa dilakukan klaim 100 persen, maka tentu tujuan JHT tak akan tercapai,” jelasnya lewat rilis pada Senin (14/2/2022).
Ida menjelaskan, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT telah mempertimbangkan perlindungan sosial lewat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang baru akan diluncurkan Februari ini.
Ia mengatakan, pekerja yang terkena PHK atau mengundurkan diri akan mendapat jaminan lewat JKP. Jaminan yang dimaksud adalah santunan uang selama 6 bulan, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
“Latar belakang munculnya JHT adalah usaha kita semua untuk menyiapkan pekerja kita di hari tua saat tidak bekerja masih bisa melanjutkan hidupnya dengan baik,” kata Ida.
Ia juga mengklaim Permenaker telah melalui proses panjang pembahasan dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), forum kerja sama tripartit nasional, dan rapat KL dalam rangka koordinasi dan harmonisasi.
Ida menyebut lahirnya Permenaker Nomor 2/2022 didasari oleh perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua.
Kemudian, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). “Kalau dilihat dari hierarki perundang-undangan, maka Permenaker ini harusnya sebagai dilihat satu kesatuan dengan semua perundang-undangan yang mengatur JHT, mulai dari UU juga Peraturan Pemerintah,” pungkasnya. (*)