JADI NARASUMBER: Wakil Ketua DPRD Heri Pudyatmoko di hadapan peserta sosialisasi membicarakan masalah nasionalisme, Jumat (27/5/2022).
PURWOREJO – Wakil Ketua DPRD Jateng Heri Pudyatmoko mengungkapkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini isu nasionalisme kembali menguat. Isu-isu seputar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) memantik nasionalisme masyarakat Indonesia. Sering kali nasionalisme digaung-gaungkan, namun acap kali pula nasionalisme hilang.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi narasumber dalam kegiatan “Sosialisasi Non-perda: Penguatan Nasionalisme melalui Pendidikan Politik” di Purworejo, Jumat (27/5/2020). Dengan cepatnya masyarakat merespons isu-isu seputar nasionalisme pada akhir-akhir ini dinilai hanya bersifat sesaat. Dalam dinamika sosial politik masyarakat saat ini, nasionalisme seakan menjadi komoditas politik.
Padahal, lanjut Heri, para perumus negara telah menampatkan prinsip nasionalisme sebagai salah satu prinsip fundamen negara. Sepatutnya nasionalisme juga ditunjukkan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat bukan menonjolkan identitas unsur-unsur keindonesiaan dan membangun sentimen primordial.
Nilai-nilai Pancasila harus menjadi prinsip pemersatu bangsa. Keragaman harus menjadi alat harmonisasi bangsa, menjadi dasar bagi identitas kolektif yang melahirkan nasionalisme kultural, dan bukan sekadar nasionalisme politis.
“Mari tanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian nasionalisme kita benar-benar sesuai prinsipyang diajarkan pendiri bangsa,” ungkapnya.
Dikatakan, Bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai dasar negaranya. “Bung Karno, Presiden Indonesia pertama menggali Pancasila dari nilai-nilai yang telah tertanam berabad-abad di bumi nusantara jauh sebelum kolonialisme datang.
Pengalaman kolektif sebagai bangsa terjajah, tertindas, dan direndahkan menjadi pendorong utama kehendak untuk bersatu. Kehendak tersebutlah yang dituangkan dalam sebuah gagasan dan Weltanschauung atau pandangan hidup Bangsa Indonesia yang bernama Pancasila,” tegasnya.
Lahirnya Pancasila pun menurutnya tidak terlepas dari pergolakan Sukarno atas ideologi-ideologi lain yang berkembang yaitu liberalisme, nasionalisme, komunisme, dan sosialisme.
“Keempat hal ini berasal dari luar negeri namun dipahami sebagai konteks dinamika di Indonesia. Seperti penjelasan Sukarno pada sidang BPUPKI: Alangkah banyak macam agama di sini, alangkah banyak aliran pikiran di sini, alangkah banyak macam golongan di sini, alangkah banyak macam suku di sini, bagimana mempersatukan aliran, suku-suku, agama-agama, dan lain-lain sebagainya itu, jikalau tidak diberikan satu dasar yang mereka bersama-sama bisa berpijak di atasnya. Dan itulah saudara-saudara, Pancasila,” kutipnya.
Pidato 1 Juni 1945 Bung Karno pada sidang BPUPKI, menurutnya memberikan rumusan mengenai dasar yang harusnya dijadikan pegangan hidup berbangsa dan bernegara. Dasar itu adalah kebangsaan Indonesia, perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Kelima prinsip tersebut dapat diperas menjadi tiga prinsip, yaitu kebangsaan yang berperikemanusiaan (sosio-nasionalisme), demokrasi yang berkeadilan sosial (sosio-demokrasi), dan ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian Tri Sila diperas menjadi Eka Sila yang berarti gotong royong.
“Bung Karno menjelaskan esensi gotong-royong. “Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!”. Itu kata Bung Karno. Gotong-royong bukan sekadar kerja bersama, tetapi juga sebagai “amal”. Dalam konteks agama, amal adalah perbuatan baik yang akan diganjar pahala. Jadi, dalam gotong-royong, ada aspek beragama dan berkeyakinan dalam bentuk praksis,” tegas politisi Partai Gerindra ini.
Dikatakan, karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa adalah kebesaran, keluasan, dan kemajemukannya. Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa dan bahasa, ragam agama dan budaya di sekitar 17.508 pulau (Undang-Undang no 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia). Untuk itu perlu konsepsi, kemauan dan kemampuan yang kuat untuk menopang kebesaran, keluasan dan kemajemukan keIndonesiaan.
“Sebuah negara-bangsa yang mengikat banyak suku bangsa, bahasa, dan agama. Di lebih dari 17.508 pulau, diperlukan suatu konsepsi, kemauan & kemampuan yang kuat untuk menopang kebesaran, keluasan dan kemajemukan, dengan dasar negara yang dapat meletakkan segenap elemen bangsa di atas suatu landasan yang statis (meja statis), sekaligus dapat memberi tuntunan yang dinamis (leitstar dinamis). Dengan karakterisitik tersebut dasar pengelolaan negara tertuang dalam pembukaan UUD 1945,” papar Heri Pudyatmoko.
“Hubungan Pembukaan UUD NRI 1945 yang memuat Pancasila dengan Pasal-Pasal UUD NRI 1945 bersifat kausal dan organis. Hubungan kausal mengandung pengertian Pembukaan UUD NRI 1945 merupakan penyebab keberadaan batang tubuh UUD NRI tahun 1945. Hubungan organis berarti Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD NRI tahun 1945 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan dijabarkannya Pancasila ke dalam pasal-pasal, maka Pancasila tidak saja merupakan suatu cita-cita hukum, tetapi telah menjadi hukum positif,” tambahnya lagi. (anf/sgt)