Foto : Prof.Dr. Rasimin, SPd, MPd ( foto : ist)
SALATIGA– Dalam era ketidakpastian yang diwarnai oleh kompleksitas, Antony Giddens, seorang sosiolog kontemporer, meramalkan bahwa dunia terperangkap dalam “jagernout” yang sulit dipahami.
Di tengah tantangan ini, pendidikan menjadi medan pertempuran utama untuk mempersiapkan generasi mendatang. Meskipun keterampilan 4C (kreatif, komunikatif, kolaboratif, dan berpikir kritis) telah menjadi fokus dalam kurikulum, seringkali satu dimensi penting terlupakan yakni kecerdasan emosional.
“ Kecerdasan emosional, seperti yang dijelaskan oleh Daniel Goleman, melibatkan pemahaman diri dan lingkungan sekitar. Ini bukan hanya tentang mengelola emosi tetapi juga tentang membangun hubungan yang sehat dan berempati terhadap orang lain. Di dalam pendidikan, ini menciptakan fondasi yang kuat untuk membekali peserta didik dengan keterampilan hidup yang kritis,” jelas Prof.Dr. Rasimin, SPd, MPd Wakil Dekan 2 FTIK UIN Salatiga.
Dalam realitas pendidikan, langkah menuju inklusi kecerdasan emosional perlu diperkuat. Guru bukan hanya sebagai penyampai informasi, melainkan juga sebagai pembimbing emosional. Ini mengharuskan para pendidik untuk merespons kebutuhan emosional peserta didik, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan holistik mereka.
Dikatakan Prof.Dr. Rasimin, pentingnya kecerdasan emosional tak hanya terbatas pada tingkat individu; ini merembes ke dalam tingkat kolektif.
Lingkungan belajar yang mempromosikan pemahaman emosional menciptakan budaya inklusif di mana perbedaan dihargai dan konflik diatasi secara bijaksana. Ini adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih terhubung dan toleran.
Melangkah lebih jauh, kecerdasan emosional juga mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi dunia kerja yang terus berkembang. Dalam revolusi industri 5.0, di mana perubahan teknologi sangat cepat, kemampuan untuk mengelola emosi, belajar dari kegagalan, dan beradaptasi menjadi keterampilan yang sangat berharga.
“ Namun, perubahan dalam pendidikan bukanlah tugas sederhana.
Dibutuhkan dukungan yang kuat dari berbagai pihak, termasuk guru, orang tua, dan pihak terkait dalam sistem pendidikan. Sumber daya yang memadai dan pelatihan untuk para pendidik menjadi esensial untuk menghadirkan perubahan yang berkelanjutan,” tandas Prof. Dr. Rasimin yang juga Ketua Forum Wakil Dekan 2 PTKIN se Indonesia ini.
Dengan mengintegrasikan kecerdasan emosional dalam kurikulum, kita tidak hanya membekali peserta didik dengan pengetahuan akademis tetapi juga membangun fondasi karakter yang kuat. Pendidikan yang memprioritaskan kecerdasan emosional bukan hanya relevan tetapi juga penting untuk mencetak generasi yang siap menghadapi masa depan yang penuh kompleksitas.
Dikatakannya, dalam perspektif global, kecerdasan emosional juga memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman lintas budaya. Peserta didik yang memiliki kesadaran emosional yang baik dapat lebih baik beradaptasi dengan perbedaan dan merespons dinamika global yang terus berubah.
“ Maka di tengah “jagernout” yang membingungkan, kecerdasan emosional muncul sebagai kunci yang membuka pintu menuju masa depan yang sukses.
Pengembangan keterampilan ini di dalam pendidikan bukan hanya investasi pada individu, tetapi juga langkah strategis menuju masyarakat yang lebih berdaya dan penuh empati,” pungkas Prof.Dr. Rasimin yang juga Ketua Pengelola PPG Daljab tahun 2019-2023. (ril)